Materi-materi kuliah S2 KMB
Senin, 26 Oktober 2009
Pedoman Pengkajian Luka
M = Measure, dikaji lama, lebar, kedalaman dan area
E = Exudate, dikaji kuantias dan kualitas
A = Appearance, dikaji dasar luka, jenis jaringan dan jumlah
S = Suffering, dikaji kenis nyeri dan tingkat
U = Undermining, dikaji apakah luka mengaung atau tidak
R = Re-evaluate, dilakukan evaluasi secara teratur
E = Edge, dikaji kondisi tepi luka sekitar kulit
Kamis, 10 September 2009
Terapi Oksigen
Pengertian dan definisi terapi oksigen
Terapi oksigen adalah pengelolaan oksigen tambahan pada pasien untuk mencegah atau menangani hipoksia. Hipoksia adalah satu kondisi dimana tidak terpenuhi oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan sel (Herry and Potter, 2006).
Fungsi terapi oksigen adalah untuk memberikan transport oksigen yang adekuat di dalam darah sehingga mengurangi kerja pernafasan dan menurunkan stress pada otot jantung (Brunner and Suddarth, 2007). Terapi ini bermanfaat bagi pasien-pasien hipoksemia dengan masalah nonpulmonal dan juga bagi mereka yang mengalami eksaserbasi akut COPD. Terapi ini juga mengatasi vasokontrinsi pulmoner dan kerja jantung kanan dan menurunkan iskemia miokard. Hasilnya akan memperbaiki kardiak output.
Oksigen dengan konsentrasi tinggi harus diberikan pada semua pasien atau cedera gawat dengan insufisiensi respirasi, syok atau trauma walaupun tekanan parsial oksigen arteri tinggi. Karena pada pasien-pasien ini hantaran oksigen ke jaringan terhambat oleh pertukaran gas paru yang tidak cukup, volume sirkulasi yang kurang dan fungsi kardiovaskuler atau distribusi aliran darah yang terganggu (Fikri dan Ganda, 2005).
Dalam konteks kardiologi, masalah oksigen terjadi disebabkan karena hambatan transport oksigen akibat penurunan fungsi jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Dampak penurunan fungsi ini tampak dari tanda-tanda cepat lelah, nafas pendek, perfusi jaringan perifer menurun dll. Apabila oksigen diberikan pada gangguan jantung, maka oksigen masuk berdifusi ke dalam paru-paru relatif mudah. Dari alveoli oksigen berdifusi ke dalam pembuluh darah arteri. Karena masalah utamanya adalah pada hambatan transport (gangguan cardiac output atau denyut jantung) maka pemberian oksigen akan meningkatkan PaO2 dan saturasi O2. Dengan peningkatan saturasi oksigen, maka hemoglobin mampu membawa oksigen lebih banyak dibandingkan dengan jika seseorang tidak diberikan oksigen. Pada kondisi demikian maka kebutuhan perfusi jaringan dapat dipenuhi meskipun terjadi penurunan rata-rata aliran darah ke jaringan.
Sebenarnya sel hanya membutuhkan sedikit tekanan oksigen untuk terjadinya reaksi kimia intraseluler yang normal. Alasannya adalah bahwa sistem enzim respirasi sel disesuaikan sedemikian rupa sehingga bila PO2 sel lebih dari 1 sampai 3 mmHg, tersedianya oksigen tidak lagi merupakan suatu faktor pembatas kecepatan reaksi kimia tersebut. Malahan, faktor pembatas utamanya kemudian adalah konsentrasi adenosin diposfat (ADP) di dalam sel. Penggunaan adenosin trifosfat (ATP) dalam sel menghasilkan energi, ATP yang kemudian diubah menjadi ADP. Peningkatan konsentrasi ADP, sebaliknya akan meningkatkan metabolisme oksigen dan berbagai makanan yang bercampur dengan oksigen untuk melepaskan energi. Energi ini dibutuhkan untuk membentuk ATP. Oleh karena itu, pada keadaan normal waktu kerja kecepatan penggunaan oksigen oleh sel diatur oleh kecepatan pengeluaran energi dalam sel tersebut yaitu oleh kecepatan pembentukan ADP dari ATP. Hanya dalam keadaan hipoksia berat penggunaan oksigen menjadi suatu keadaan yang terbatas (Fikri dan Ganda, 2005).
Terdapat bukti bahwa terapi oksigen mampu memperbaiki aliran oksigen ke paru dan meningkatkan pertahanan paru dan membantu transport mukosilier dan pembersihan mucus (Bach and others, 2001 dalam perry dan Potter, 2006).
Namun bukti lain menyatakan bahwa terdapat masalah besar di dalam pengelolaan terapi ini pada eksaserbasi COPD akut yang diakibatkan elevasi kadar CO2 dan peningkatan resiko gagal nafas. Pengelolaan terapi oksigen, meski dalam kadar yang rendah (24 – 28%) mungkin mengakibatkan hiperkarbia dan harus diberikan dengan hati-hati (Snow and others, 2001 dalam perry dan Potter, 2006).
Indikasi terapi O2 pada klien
1. Hypoxia / hypoxemia; artinya penurunan PaO2 kurang dari 60 mmHg atau SaO2 kurang dari 90% di dalam ruangan atai dengan PaO2 dan/atau SaO2 di bawah rentang yang diinginkan secara klinik
2. Penurunan COP
3. Peningkatan kebutuhan oksigen
4. Penurunan daya angkut oksigen
5. Peningkatan beban kerja miokard pada MCI
6. Prosedur yang bisa menyebabkan hypoxemia
7. Trauma berat
8. Terapi jangka pendek atau intervensi bedah misalnya post anestesi recovery, bedah panggul
NICE menyarankan pengkajian kebutuhan untuk terapi oksigen pada pasien di bawah ini (Evidence level D)
· Obstruksi aliran udara berat dengan FEV1 kurang dari 30% yang diperkirakan.
· Cyanosis.
· Polycythaemia.
· Oedema perifer.
· Tekanan vena jugularis meingkat
· Saturasi oksigen kurang dari 92% saat bernafas.
· Obstruksi aliran udara sedang (FEV1 30 to 49% of predicted).
· Hembusan singkat dari terapi oksigen untuk episode hilang nafas hanya digunakan jika semua metode lain gagal. (Evidence level C).
Alat | Rerata aliran yang disarankan (l/mnt) | Persentase Oksigen | Keuntungan | Kerugian |
Low-Flow Systems | | | | |
Cannula | 1 2 3 4 5 6 | 24% 28% 32% 36% 40% 44% | Ringan, nyaman, murah, tidak mengganggu makan dan aktivitas | Mukosa hidung kering, FiO2 bervariasi |
Oropharyngeal catheter | 1–6 | 23–42 | Murah, tidak perlu trakheostomi | Iritasi mukosa hidung, kateter harus sering diganti-ganti dengan lobang hidung satunya |
Mask, simple | 6–8 | 40–60 | Mudah digunakan dan murah | Kurang cocok, FiO2 bervariasi, dilepas saat makan |
Mask, partial rebreather | 8–11 | 50–75 | Konsentrasi oksigen sedang | Panas, kurang cocok, dilepas saat makan |
Mask, non-rebreather | 12 | 80–100 | Konsentrasi oksigen tinggi | Kurang cocok |
| | | | |
High-Flow Systems | | | | |
Transtracheal catheter | ¼-4 | 60–100 | Lebih nyaman, dapat disembunyikan di dalam baju, oksigen lebih rendah dibandingkan kanula nasal | Butuh sering pembersihan dan teratur, membutuhkan intervensi bedah |
Mask, Venturi | 4–6 6–8 | 24, 26, 28 30, 35, 40 | Pemberian oksigen tingkat rendah, FiO2 tepat, Tersedia kelembaban tambahan | Harus dilepas saat makan |
Mask, aerosol | 8–10 | 30–100 | Kelembaban baik, FiO2 akurat | Tidak nyaman untuk sebagian |
Tracheostomy collar | 8–10 | 30–100 | Kelembaban baik, nyaman, FiO2 hampir akurat | |
T-piece | 8–10 | 30–100 | Sama dengan tracheostomy collar | Berat dengan pipa |
Face tent | 8–10 | 30–100 | Kelembaban baik, FiO2 hampir akurat | Besar, tidak praktis |
D.
Tindakan-tindakan keperawatan yang dapat mengoptimalkan terapi oksigen
Apabila seorang pasien menerima terapi oksigen, hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh perawat adalah :
· Menjelaskan alasan dan pentingnya kepada pasien
· Evaluasi efektifitas, observasi tanda-tanda hipoksia. Beritahu dokter bila pasien mengalami gelisah, cemas, somnolen, sianosis, atau takikardia
· Analisa gas darah dan bandingkan dengan dengan nilai normal
· Pasang oksimetri nadi untuk monitor saturasi oksigen
· Jelaskan pada pasien atau pengunjung untuk menghindari rokok saat terapi oksigen
Disamping itu untuk mengefektifkan terapi oksigen ini perlu dilakukan tindakan modalitas lain yang bisa saling mendukung. Di antaranya adalah :
1. Chest Fisiotepry, perkusi, postural drainage, Batuk efektif
Tindakan fisioterapi dada dilakukan untuk mengontrol sekresi pada jalan nafas secara meluas. Sekret yang dikeluarkan perlu untuk dikeluarkan melalui batuk ataupun suction, untuk tindakan batuk efektif perlu dilakukan tindakan mengambil nafas dalam, menutup glottis dengan tujuan untuk memberi tekanan pada bagian belakang dada untuk kemudian dengan kekuatan penuh dikeluarkan.
Fisiotetapi dan batuk efektif berhubungan dengan bersihan jalan nafas terhadap mucus pasien yang menghambat sekresi dari trakeobronkial (Jones and Rowe, 1999)
Akumulasi Sekret yang terjadi pada pasien bisanya terjadi pada penderita :
- bronchitis
- asma
- fibrosis cystic
- pneumonia
- bronkoekstasis
Pada Pasien post operasi juga dapat terjadi peningkatan akumulasi secret, sehingga menyebabkan atelektasis, kolap lubuler, sehingga perlu dilakukan fisioterapi dada tetapi penggunaannya memerlukan terapi modalitas yang lain. Misalnya : Pemberian mukolitik, Pemberian system hidrasi yang baik, pemberian bronkodilator termasuk juga pemberian antibiotic.
Tujuan Utama fisioterapi dada :
· Membersihkan jalan nafas dari penumpuikan secret yang berlebih sehingga tidak mengurangi kerja jalan nafas
· Memfasilitasi klien dalam penggunaan batuk untuk mengeluarkan sekret
Hidrasi yang adekuat penting dilakukan untuk pasien dengan program kebersihan paru. Cairan yang diberikan menyebabkan mukus atau sekret lebih lancer dan berair sehingga dapat bergerak ketika dibatukkan dapat keluar lebih mudah, tetapi pemberian hindarsi ini dapat menjadi kontra indikasi terhadap penyakit lain, misalnya gagal jantung , gagal ginjal.
Dengan dilakukan 3 – 4 kali fisioterapi dada/hari dan 2 liter atau lebih cairan/ hari yang diberikan maka akan mencegah dan menciptakan dan membangun kebersihan jalan nafas, mengurangi sesak nafas, meningkatkan kerja pernafasan dan membantu pertukaran gas.
- Suctioning
Beberapa tindakan yang dianggap perlu dan penunjang untuk membuka jalan nafas dianggap berpotensi untuk mencegah terdanya obtruksi oleh karena secret, benda asing, dan obstruksi mekanik yang disebabkan oleh jaringan bagian atas.
Tindakan ini mungkin tidak berhubungan dengan order dokter, tetapi tergantung oleh situasi yang ada, intervensi yang dilakukan ketika terjadi sumbatan jalan nafas pada saat itu maka segera dilakukan pembebasan jalan nafas.
Manajemen dalam kepatenan jalan nafas meliputi: Hidung, jalan nafas bagian atas, serta trakea, system jalan nafas bagian bawah.
Suctioning ditujukan untuk mengangkat secret dari jalan nafas, sehingga klien dengan ketidakmampuan atau kegagalan baik pada proses menelan atauapun pada proses pembebasan jalan nafas lainnya dapat terhindar dari obstruksi
Rabu, 09 September 2009
The Six-Minute walk Test
Definisi dan Tujuan
The Six-Minute Walk Test (6 MWT) merupakan tes yang sederhana dan praktis, yang membutuhkan jarak 100 ft (kira-kira 30 m) tanpa peralatan latihan atau pelatihan mahir bagi seorang teknisi. Tes ini bertujuan untuk mengukur jarak dimana pasien dapat berjalan secepat mungkin pada permukaan datar dan keras dalam waktu 6 menit. Disamping itu tes ini mampu mengevaluasi berbagai sistem tubuh yang terlibat selama latihan yang meliputi sistem pulmoner, sistem kardiovaskuler, sirkulasi sistemik, sirkulasi perifer, darah, unit neuromuskuler dan metabolisme otot. Pemeriksaan ini bisa mencerminkan tingkat kapasitas fungsional yang lebih baik dari aktivitas fisik.
Tes ini telah menjadi alat evaluasi standar pada awal program rehabilitasi untuk mengkaji kapasitas latihan dan mengatur porsi latihan. Tes ini menjadi penentu hasil dari program pengkondisian fisik dan telah digunakan sebagai bagian seleksi kriteria pasien yang mendapat transplantasi paru.
Prosedur Tindakan
Pengkajian
Sebelum dilaksanakannya tindakan ini, perlu terlebih dahulu dilakukan pengkajian. Pengkajian di tujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan 6MWT, indikasi dan kontra indikasi dari tindakan 6MWT. Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan 6MWT adalah:
a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan jarak berjalan 6 menit lebih pendek:
- TB lebih pendek (tungkai lebih pendek)
- Usia tua
- BB lebih berat
- Jenis kelamin perempuan
- Sadar terganggu
- Koridor berjalan lebih pendek (banyak berbelok)
- COPD, asma, Kistik fibrosis,penyakit intersisielparu
- Angina, infark myokardial, CHF, stroke. Transient iskemik attack, penyakit pembuluh darah perifer
- Indek tangan-tumir
b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan jarak berjalan 6 menit lebih panjang :
- Berbadan tinggi (tungkai lebih panjang)
- Jenis kelamin laki-laki
- Bermotivasi tinggi
- Pasien sebelumnya menjalani tes
- Medikasi sebelum tes
- Sumplemen oksigen
Indikasi dari dilakukannya tindakan 6 MWT adalah :
a. perbandingan penanganan sebelum da sesudah :
- transplantasi paru atau reseksi paru
- Pembedahan reduksi volume paru
- Rehabilitasi paru
- Terapi obat untuk COPD
- Hipertensi pulmoner
- Gagal Jantung
b. Mengukur status fungsional :
- COPD
- Cystic fibrosis
- Gagal Jantung
- Penyakit pembuluh darah perfifer
- Pada pasien-pasien usia lanjut
c. Memperkirakan lama dirawat dan kematian :
- dari gagal jantung
- COPD atau
- Hipertensi pulmoner
Sementara itu untuk kontraindikasi terdiri dari dua hal. Pertama adalah bersifat mutlak meliputi angina unstabil dan infark miocard selama bulan yang lalu. Kontraindikasi relatif meliputi denyut jantung istirahat lebih dari 120 x/mnt, tekanan darah sistole lebih dari 180 mmHg dan tekanan darah diastole lebih dari 120 mmHg. Pasien dengan temuan seperti ini harus dirujuk ke dokter yang menangani atau mengawasi tes untuk penilaia klinis individu dan keputusan tentang dilakukannya test. Hasil EKG 6 bulan yang lalu juga dievaluasi sebelum tes. Angina stabil akibat pengerahan tenaga bukanlah kontraindikasi untuk 6 MWT, tetapi pasien dengan simptom seperti ini harus melakukan tes setelah menggunakan obat antiangina dan obat nitrat penyelamat harus siap tersedia
Persiapan Pelaksanaan
a. Persiapan Alat
- Stopwacth
- Penghitung lintasan mekanik
- Dua kerucut untuk menandai batas untuk berputar
- Kursi yang bisa dengan mudah dipindah sepanjang jalan
- Lembar catatan
- Tabung oksigen
- Sphygmomanometer
- Telepon
- Defibrilator
2. Persiapan Pasien
- Menganjurkan pasien memakai pakaian yang nyaman
- Menganjurkan pasien menggunakan sepatu yang sesuai
- Menganjurkan pasien menggunakan alat bantu jalan biasanya selama tes misalnya tongkat, walker
- Obat-obatan tetap dilanjutkan
- Makanan ringan diperbolehkan seebelum tes pagi atau sore
- Pasien tidak diperkenankan latihan berlebihan dalam 2 jam pada permulaan tes
Pelaksanaan Tindakan
- Mengulangi tes harus dilakukan pada waktu yang sama tiap hari untuk meminimalkan variasi
- Periode pemanasan sebelum tes tidak diperlukan
- Pasien harus duduk istirahat di kursi, dekat posisi start minimal selama 10 menit sebelum tes dimulai. Selama waktu tersebut, periksa kontraindikasi, hitung nadi dan ukur tekanan darah, dan pastikan pakaian dan sepatu yang sesuai dan nyaman. Isi bagian awal lembar catatan (lihat lampiran 2)
- Jika dilakukan oksimetri nadi (boleh dilakukan boleh tidak), ukur dan catat batas denyut jantung (HR) dan saturasi oksigen (SpO2) dan ikuti instruksi dari pabrikan untuk meminimalkan sinyal dan meminimalkan barang-barang bergerak. Pastikan pembacaan stabil sebelum pencatatan. Catat regularitas nadi dan apakah kualitas sinyak oksimetri dapat diterima.
- Minta pasien berdiri dan hitung dispneu dan keletihan pasien dengan skala Borg
- Atur penghitung lintasan pada angka nol dan penghitung waktu 6 menit. Pasang semua peralatan (penghitung lintasan, penghitung waktu, papan, skala Borg, lembar catatan) dan pindahlah ke tempat star
- Perintahkan pasien sbb:
“Tujuan dari tes ini adalah berjalan sejauh-jauhnya selama 6 menit. Anda akan berjalan bolak balik di jalan ini. 6 menit adalah waktu yang lama bagi Anda untuk berjalan, sehigga Anda harus memaksa diri Anda. Anda mungkin akan kehabisan nafas dan kelelahan. Anda diperbolehkan untuk pelan-pelan, berhenti dan istirahat jika perlu. Anda boleh bersandar pada dinding selama isstirahat, tetapi kembali berjalan secepat yang Anda mampu. Anda akan berjalan bolak balik disekitar kerucut. Anda harus berjalan cepat memutari kerucut dan melanjutkan ke sisi lain tanpa ragu-ragu. Sekarang saya akan menunjukkan pada Anda. Tolong lihat cara saya berbelok tanpa ragu-ragu. Demonstrasikan 1 lintasan. Berjalanlah dan putari kerucut dengan cepat. “Anda siap? Saya akan menggunkaan penghitung waktu untuk menghitung jumlah lintasan yang Anda tempuh. Saya akan klik tombol saat Anda berpitar pada garis star. Ingat bahwa tujuan berjalan adalah sejauh munkgin selama 6 menit, tapi jangan berlari. Mulai sekarang, atau kapanpun Anda siap”
- Posisikan pasien pada garis star. Kamu juga harus berdiri dekat garis star selama tes. Jangan berjalan dengan pasien. Segera setelah pasein berjalan, mulai hitung waktu.
- Jangan berbicara dengan seorangpun selama berjalan. Gunakan suara keras saat memberi dorongan. Perhatikan pasien. Hindari hilang perhatian dan kehilangan hitungan lintasan. Setiap pasien kembali ke garis star, klik penghitung lintasan sekali (atau tandai lintasan pada lembar catatan). Biarkan peserta melihat yang kamu lakukan. Lakukan klik dengan body language, seperti menggunakan stopwacth pada balapan.
Setelah menit pertama, beritahu pasien (dengan tekanan) “Anda melakukan dengan baik. Waktu Anda tingga 5 menit.”
Saat waktu tinggal 4 menit, beritahu pasien “Pertahankan kerja bagus Anda. Waktu Anda 4 menit lag.”
Saat tinggal 3 menit lagi, katakan pasien “Kerja bagus. Anda sudah separuh jalan.”
Saat tinggal 2 menit, katakan “pertahankan. Waktu 2 menit lagi”
Saat kurang 1 menit lagi, Katakan Anda melakukannya dengan baik. Waktu tinggal 1 menit lagi.
Jangan gunakan kata-kata lain untuk memberikan dorongan (atau body language untuk mempercepat)
Jika pasien berhenti berjalan selama tes dan butuh istirahat, katakan: “Anda bisa bersandar di dinding jika Anda tidak akan menghentikan tes. Jika pasien berhenti sebelum menit ke 6 selesai dan menolak melanjutkan (atau Kamu memutuskan bahwa mereka tidak dapat melanjutkan), Bawa kursi ke dekat pasien untuk duduk, hentikan berjalan dan catat pada lembar catatan jarak, waktu berhenti dan alasan berhenti sebelum selesai.
Jika waktu 15 detik mendekati selesai, katakan: “sekarang saya akan katakan untuk berhenti. Berhentilah segera dimana saja Anda dan saya akan datang kepada anda.
Saat alarm berbunyi, katakan “berhenti!”, berjalanlah ke arah pasien. Bawalah kursi jika pasien tampak lelah. Tandai titik ditempat mereka berhenti dengan meletakkan pita pada lantai.
- Post-tes: Catat tingkat dispneu dan keletihan paska berjalan dan tanyalah: “Apakah yang menyebabkan Anda Berjalan lebih jauh?”
- Jika menggunakan oksimeter, ukur SPO2 dan denyut nadi dari oksimetri dan kemudian lepas sensor.
- Catat jumlah lintasan (Tandai tebal pada labar catatan)
- Catat jarak tambahan yang ditempuh (jumlah meter pada lintasan tambahan). Kalkulasi total jarak berjalan, dan catat pada lembar cacatan.
- Beri ucapan selamat pada pasien atas upaya yang bagus dan tawarkan air minum.
3. Evaluasi
Kebanyakan 6MWT dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Pertanyaan utamanya adalah apakah pasien telah mengalami perbaikan signifikan secara klinis.
Peningkatan rata-rata signifikan dalam 6MWT secara statistik ditemukan pada pasien COPD dari sejumlah 112 pasien, 95 % perbaikannya signifikan. Sementara pada 45 pasien lansia dengan gagal jantung hasilnya cenderung memburuk.
Hal-hal yang perlu dievaluasi adalah dalam 6MWT adalah:
- Total jarak berjalan
- Dispneu dan fatigue diukur dengan skala analog visual dan Borg (lihat lampiran 1)
- Saturasi oksigen dapat dilakukan dengan oksimetri nadi
Selasa, 01 September 2009
Selamat Kuliah Lagi, Rekan-rekan S2 KMB FIK UI
Rabu, 19 Agustus 2009
Pendidikan Keperawatan Perioperatif
Saat ini program ini telah memasuki tahun keempat dan termasuk program pendidikan D IV yang pertama disamping program studi D IV Kebidanan dan Gizi. Seiring dengan berjalannya waktu, peminatan terhadap program inipun meningkat. Di tahun awal misalnya, program ini hanya mendidik 7 orang mahasiswa namun memasuki angkatan ketiga terdapat 31 mahasiswa.
Melihat proses pendidikan, besar keyakinan lulusan akan mudah mendapatkan pekerjaan. Pertama, kebutuhan tenaga perawat perioperatif sangat tinggi. kedua, belum adanya program pendidikan resmi. Selama ini perawat perioperatif adalah lulusan perawat (umumnya D III) yang mendapatkan pelatihan keperawatan perioperatif di rumah sakit-rumah sakit. ketiga, proses pendidikan yang menekankan pada aspek skill tindakan. Selama 6 bulan penuh mahasiswa praktik di ruang-ruang seperti ICU, OK dan Anestesi. Khusus di ruang OK, bahkan mahasiswa praktik selama 3 bulan dengan semi training. Saat penulis supervisi di ruang OK RS Sanglah Denpasar Bali beberapa waktu yang lalu, mahasiswa bahkan telah menjadi bagian dari tim operasi (sebagai perawat instrumen).
Semoga pendidikan keperawatan di negara kita menjadi lebih baik dan berkualitas. Untuk mendapatkan info lebih jelas Anda bisa klik situs berikut ini Poltekkes Malang
Selasa, 18 Agustus 2009
Materi Kuliah
So... untuk mengisi kekosongan waktu aku sempatkan lagi ngeposting. dan mudah-mudahan bisa istiqomah. oh ya saya juga sempat upload bagi temen-temen paskasarjana FIK UI. kalau butuh materi-matei semester II peminatan KMB. download aja di sini.
moga ada manfaatnya...
EFEKTIFITAS TERAPI BEKAM TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA PASIEN HIPERTENSI
Hipertensi merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Hipertensi menyerang lebih dari 700 juta penduduk dunia dengan angka mortalitas 7 juta jiwa dan morbiditas 64 juta jiwa pertahun. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3%. Survei faktor risiko penyakit kardiovaskular oleh WHO di Jakarta, menunjukkan angka prevalensi hipertensi dengan tekanan darah 160/90 masing-masing pada pria 12,1% (2000). Pada wanita, angka prevalensi mencapai 12,2% (2000).
Hipertensi dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya jika tidak ditangani dengan baik. Komplikasi hipertensi diantaranya: penyakit jantung koroner (PJK), infark miokard, stroke, dan gagal ginjal, aneurisma dan retinopati hipertensi. Hipertensi juga merupakan resiko utama terjadinya perdarahan otak, yang merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia (Underwood, 1999).
Pengobatan hipertensi secara farmakoterapi dapat dilakukan dengan pemberian diuretika, penyekat reseptor beta adrenergic, penyekat saluran kalsium, inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) atau penyekat reseptor alfa adrenergic. Pengobatan tersebut bergantung pada pertimbangan klien termasuk mengenai biaya, karakteristik demografik, penyakit penyerta, dan kualitas hidup. Pengobatan hipertensi saat ini belum efektif karena hanya menurunkan prevalensi sebesar 8%, harganya mahal, sering terjadi kekambuhan dan menimbulkan efek samping yang lebih berbahaya (Price dan Wilson, 2005).
Tren pengobatan hipertensi saat ini yaitu dengan menggunakan terapi alternatif dan komplementer, salah satunya yaitu terapi bekam atau hijamah yang sudah digunakan semenjak zaman Nabi Muhammad SAW (VITAHEALTH, 2006). Terbukti dengan adanya hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “Kesembuhan itu terdapat pada tiga hal, yaitu minuman madu, sayatan alat bekam dan kay (pembakaran) dengaan api, dan sesungguhnya aku melarang umatku dari kay.” Sabda yang lain “Sungguh, pengobatan paling utama yang kalian gunakan adalah bekam,” (Hadits Shohih). "Apabila ada atau ada kebaikan pada sesuatu dari obatmu, maka ia ada pada hijamah atau meminum madu (herba)" (H.R. Bukhori dalam Yasin, 2005).
Manfaat terapi bekam belum banyak diteliti di Indonesia. Namun berdasarkan pengalaman praktisi bekam, sudah banyak penyakit bisa disembuhkan, salah satu diantaranya adalah penyakit hipertensi (Yasin, 2005). Berdasarkan penjelasan di atas penulis bermaksud melakukan kajian literatur tentang efektifitas terapi bekam dalam menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi.
B. Terapi Bekam
Berbekam atau Hijamah menurut bahasa adalah ungkapan tentang menghisap darah dan mengeluarkannya dari permukaan kulit, yang kemudian ditampung di dalam gelas bekam, yang menyebabkan pemusatan dan penarikan darah di sana. Lalu dilakukan penyayatan permukaan kulit dengan pisau bedah, untuk mengeluarkan darah (Yasin, 2007).
Kata "Hijamah" berasal dari bahasa Arab, dari kata Al Hijmu yang berarti pekerjaan membekam. Al Hajjam berarti ahli bekam. Nama lain bekam adalah canduk, canthuk, kop, mambakan, di Eropa dikenal dengan istilah "Cuping Therapeutic Method". Bekam dalam bahasa Mandarin disebut Pa Hou Kuan. (Subiyanto dan Leli, 2006).
Pengobatan dengan bekam sudah digunakan semenjak zaman Nabi. Terbukti dengan adanya hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “Kesembuhan itu terdapat pada tiga hal, yaitu minuman madu, sayatan alat bekam dan kay (pembakaran) dengan api, dan sesungguhnya aku melarang umatku dari kay.” Sabda yang lain “Sungguh, pengobatan paling utama yang kalian gunakan adalah bekam ”(Hadits Shohih) (Anonim, 2006).
Terapi bekam berasal dari timur tengah namun telah menyebar ke daratan Eropa dan Asia seperti Cina dan Indonesia. Di Indonesia terapi bekam memang belum banyak diteliti kebenaran manfaatnya. Namun berdasarkan pengalaman praktek Abu Fabby, sudah banyak pasien bisa disembuhkan. seperti sakit kepala, pusing-pusing, sakit pinggang, sakit punggung dan sakit berat lainnya. Menurut Abu, pasien bisa sembuh karena dilakukan bekam pada titik-titik saraf terkait dengan penyakit yang dikeluhkan pasien (Anonim, 2006).
Jenis dan Teknik Bekam
Ullah (2007) mengatakan bahwa bekam dapat dilakukan dengan dua cara, yakni bekam kering atau bekam angin (Hijamah Jaaffah atau Dry Cupping) dan bekam basah (Hijamah Rothbah atau Wet Cupping). Bekam kering menurut Nashr (2005) merupakan upaya menghisap permukaan kulit dan memijat tempat sekitarnya tanpa mengeluarkan darah kotor dengan tujuan pemindahan zat dalam tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Pada teknik bekam ini darah akan keluar melalui urat-urat kecil yang menimbulkan bekas seperti memar sementara. Fatahillah (2006) mengatakan bahwa bekam kering dapat dilakukan dengan tekhnik meluncur dan tekhnik tarik. Penggunaan tekhnik meluncur merupakan pengganti kerokan. Tindakan ini dilakukan untuk membuang angin pada tubuh, melemaskan otot-otot dan melancarkan peredaran darah. Sedangkan tekhnik tarik biasa digunakan untuk menghilangkan nyeri atau penat di bagian dahi, kening dan bagian yang terasa pegal. Adapun bekam basah merupakan bekam kering yang mendapatkan tambahan perlakuan, yaitu darah dikeluarkan dengan cara disayat pada daerah yang dibekam (Ullah, 2007).
Terapi Bekam harus diberikan sesuai dengan kondisi klien, sehingga tidak semua klien dapat diberikan terapi bekam yang sama. Oleh karena itu, sebelum diberikan terapi, klien terlebih dahulu dipastikan kondisi fisiknya dengan diagnosa yang jelas sebelum diberikan terapi basah atau kering. Beberapa manfaat dari pemberian terapi bekam basah (Fatahillah, 2006), diantaranya :
1. Membersihkan darah dari racun-racun sisa makanan dan dapat meningkatkan aktifitas saraf vertebrae.
2. Mengatasi gangguan tekanan darah yang tidak normal dan arteriosclerosis.
3. Menghilangkan rasa pusing, memar di bagian kepala, wajah, migrain dan sakit gigi.
4. Menghilangkan kejang-kejang dan keram otot.
5. Memperbaiki permeabilitas pembuluh darah.
6. Menyembuhkan reumatik.
7. Mengatasi kemalasan, lesu dan banyak tidur.
8. Mengatasi radang selaput jantung dan ginjal.
9. Mengatasi gangguan kulit, alergi, jerawat dan gatal-gatal.
Adapun pemberian terapi bekam kering dilakukan untuk mengatasi berbagai penyakit ringan seperti mengatasi masuk angin, menghilangkan rasa sakit pada paru-paru kronis, menahan derasnya haid dan mimisan, meringankan rasa sakit dan penumpukan darah, melenturkan otot-otot yang tegang, radang urat saraf dan radang sumsum tulang belakang, pembengkakan liver, radang ginjal dan wasir (Fatahillah, 2006).
Larangan Berbekam
Terapi bekam ini dilarang digunakan pada penderita tekanan darah sangat rendah, penderita sakit kudis, penderita diabetes mellius, wanita hamil, wanita yang sedang haid. Orang yang sedang minum obat pengencer darah, penderita leukemia, thrombosit, alergi kulit serius, orang yang sangat letih, kelaparan, kenyang, kehausan dan orang yang sedang gugup. Adapun anggota bagian tubuh yang tidak boleh di-bekam yaitu mata, telinga, hidung, mulut, puting susu, alat kelamin, dubur. Area tubuh yang banyak simpul limpa. Area tubuh yang dekat pembuluh besar. Bagian tubuh yang ada varises, tumor, retak tulang, jaringan luka . Menurut Imam asy-Syuyuthi berbekam dalam keadaan perut kosong itu adalah paling baik karena dalam hal itu terdapat kesembuhan. Dan dianjurkan untuk tidak makan selama 2- 3 jam sebelumnya (Aiman, 2004).
Waktu Bekam
Sebaiknya berbekam dilakukan pada pertengahan bulan, karena darah kotor berhimpun dan lebih terangsang (darah sedang pada puncak gejolak). Pemilihan waktu bekam adalah sebagai tindakan preventif untuk menjaga kesehatan dan penjagaan diri terhadap penyakit. Adapun untuk pengobatan penyakit, maka harus dilakukan kapan pun pada saat dibutuhkan. Dalam hal ini Imam Ahmad melakukan bekam pada hari apa saja ketika diperlukan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW : "Jangan sampai mengalami ketidakstabilan darah, karena itu bisa mematikan." (Fatahilllah, 2006).
Menurut Ibnul Qayyim perintah penggunaan bekam bukan pada awal bulan (Qamariyah), karena cairan-cairan dalam tubuh kurang aktif bergerak dan tidak normal. Bukan pula akhir bulan, karena cairan-cairan itu berkurang. Yang baik ialah pada pertengahan bulan, ketika cairan-cairan di dalam tubuh bergolak dan mencapai puncak penambahannya, karena bertambahnya cahaya dari rembulan.
Teknik Bekam
Terapi bekam dilakukan dengan cara mengoleskan alkohol pada titik yang akan dibekam agar steril, proses berikutnya dibekam hingga kulit terlihat tertarik dan berwarna kemerahan. Selanjutnya permukaan kulit (epidermis) disayat dengan pisau bedah atau silet steril sehingga akan keluar darah kotor. Sayatan ini tidak berbahaya karena yang tersayat hanya lapisan kulit luar, tidak sampai ke dalam lapisan daging. Setelah darah keluar disedot lagi dengan bekam hingga keluar getah bening. Getah bening ini yang berfungsi menutup lapisan yang tersayat. Luka Sayatan tersebut dapat sembuh dalam waktu tiga hari (Sutomo,2008).
Bekam harus dilakukan dengan serba steril yaitu steril hatinya dalam arti ikhlas dalam melakukanya, jika memungkinkan sebaiknya dilakukan sambil berpuasa baik pasien maupun yang mengobati, meminta kesembuhan dari-Nya. Alat yang digunakan juga harus steril, seperti gelas bekam, penyedot udara, pisau/silet dan kantung tangan. Alat seperti silet dan kantung tangan harus sekali pakai langsung dibuang. Walaupun tidak berbahaya, bekam tidak dianjurkan untuk penderita diabetes, pasien yang fisiknya lemah, penderita infeksi kulit merata, kanker darah, sedang hamil dan rentan keguguran kandungan, hepatitis A dan B, penderita anemia serta pasien yang sedang menjalani cuci darah. Jika dilakukan bekam pada golongan ini, dimungkinkan akan terjadi efek samping yang tidak diinginkan.
Prinsip Kerja dan Manfaat Bekam
Sudah banyak penelitian di luar negeri tentang cara kerja dan manfaat dari terapi bekam, seperti yang dilakukan oleh Amir Muhammad Sholih. Pengobatan bekam terbukti bermanfaat karena orang yang melakukan pengobatan dengan bekam dirangsang pada titik saraf tubuh seperti halnya pengobatan akupuntur. Tetapi dalam akupuntur yang dihasilkan hanya perangsangan, sedangkan bekam selain dirangsang juga terjadi pergerakan aliran darah.
Kerja terapi bekam berkaitan dengan unsur besi yang terdapat dalam darah manusia yaitu berupa unsur panas yang dapat menyebabkan terhambatnya aktifitas sel-sel sehingga mengurangi imunitas terhadap virus. Karenanya pasien yang dalam darah kandungan besinya tinggi, reaksi pengobatan lebih lambat dibandingkan pasien kandungan besinya rendah dalam darah. Selain itu, pembuangan sebagian darah dalam terapi bekam terbukti mampu memulihkan reaksi pengobatan menjadi lebih cepat sehingga bekam bisa diterapkan sebagai terapi pendamping pengobatan medis (Sutomo, 2008).
Hasil percobaan yang pernah dilakukan Amir pada pasien terinfeksi virus hepatitis C dan memiliki kadar besi cukup tinggi dalam darahnya. Setelah pasien diterapi bekam dan diberi obat Interferon dan Riboviron memiliki reaksi positif dan kekebalan meningkat. Padahal sebelum dibekam reaksi terhadap obat tersebut hampir tidak bereaksi.
Menurut Amani (2004) mekanisme kerja terapi bekam terjadi di bawah kulit dan otot yang terdapat banyak titik saraf. Titik-titik ini saling berhubungan antara organ tubuh satu dengan lainnya sehigga bekam dilakukan tidak selalu pada bagian tubuh yang sakit namun pada titik simpul saraf terkait. Pembekaman biasanya dilakukan pada permukaan kulit (kutis), jaringan bawah kulit (sub kutis) jaringan ini akan “rusak”. Kerusakan disertai keluarnya darah akibat bekam akan ikut serta keluar beberapa zat berbahaya seperti serotonin, bistamin, bradiknin dan zat-zat berbahaya lainnya. Bekam juga menjadikan mikrosirkulasi pembuluh darah sehingga timbul efek relaksasi pada otot sehingga dapat menurunkan tekanan darah (Sutomo, 2008).
C. Pembahasan
Pengobatan hipertensi yang selama ini dilakukan adalah dengan menggunakan obat-obatan farmakologis seperti penghambat adreseptor α (α-bloker) yang dapat menghambat reseptor α1 di pembuluh darah terhadap efek vasokontriksi NE dan E sehingga terjadi dilatasi arteriol dan vena. Hal ini dapat menurunkan resitensi perifer dan dengan demikian menurunkan tekanan darah. Akibatnya terjadi terjadi refleks takikardi tetapi hanya sedikit dan denyut jantung menurun kembali setelah pemberian kronik. Selain itu obat ini dapat menurunkan resitensi insulin sehingga dapat digunakan pada pasien hipertensi dengan kadar glukosa darah yang tinggi (Setiawati, 2004).
Menurut Arini dan Zunilda (2004) obat tersebut memiliki efek samping utama yaitu hipotensi ortostatik. Fenonema dosis pertama adalah hipotensi ortostatik yang simtomatik dan terjadi pada beberapa dosis pertama namun dapat terjadi juga pada saat peningkatan dosis dan dapat menyebabkan kehilangan kesadaran selintas dan pusing kepala. Fenonema ini terutama terjadi bila dosis awal terlalu besar, pada penderita dengan deplesi cairan ( orang puasa atau orang yang membatasi garam) dan usia lanjut. Efek samping lainnya yaitu sakit kepala, palpitasi, rasa lelah, udem perifer, hidung tersumbat dan nausea.
Selain itu penggunaan obat adronelitik sentral dapat menyebabkan beberapa efek samping yaitu mulut kering dan sedasi yang terjadi pada 50% penderita, mual, konstipasi dan impotensi. Gejala ortostastik kadang-kadang terjadi. Efek samping sentral termasuk mimpi buruk, insomnia, cemas dan depresi. Penghentian mendadak dapat menimbulkan reaksi putus obat dengan gejala aktivitas simpatis yang berlebihan ( rasa gugup, sakit kepala, nyeri abdomen, takikardi dan berkeringat). Gejala ini dapat disertai dengan krisis hipertensi yaitu peningkatan tekanan darah dengan cepat ke nilai yang sangat tinggi (Setiawati, 2004).
Fatahillah (2006) mengungkapkan bahwa beberapa proses (dikenal dengan konsep 4R) yang terjadi selama proses terapi bekam diantaranya :
1. Release (mengeluarkan)
Release merupakan langkah awal yang dilakukan dalam pengobatan alami untuk membuang racun-racun dalam tubuh. Proses ini disebut dengan istilah detoksifikasi pada organ-organ seperti jantung, hati, ginjal, sistem peredaran darah dan pencernaan (usus).
2. Relax (mengistirahatkan)
Memberikan kesempatan pada tubuh untuk menormalkan dan menstabilkan keadaan suhu, acid (asam), dan alkali (basa) agar sistem imun dapat berfungsi kembali.
3. Regeneration (mengganti dengan yang baru)
Upaya tubuh dalam melakukan penggantian terhadap sel-sel yang mati atu rusak, sebagai proses anti aging. Sehingga pencegahan terhadap munculnya penyakit degeneratif dapat dilakukan.
4. Refunction (memfungsikan kembali)
Langkah akhir yang dilakukan ialah dengan mengaktifkan dan memfungsikan kembali organ-organ tubuh dengan baik. Sehingga dengan sendirinya tubuh dapat melawan serangan-serangan penyakit
Menurut Fatahillah (2006), apabila melakukan pembekaman pada satu titik, maka di kulit (kutis), jaringan bawah kulit (sub kutis), fascia dan ototnya akan terjadi kerusakan dari sel mast/basofil dan lain-lain. Akibat kerusakan ini akan dilepaskan beberapa zat seperti serotonin, histamin, bradikinin, slow reacting substance (SRS), serta zat-zat lain yang belum diketahui. Zat-zat ini menyebabkan terjadinya dilatasi (pengembangan) kapiler dan arteriol serta flare reaction pada daerah yang dibekam. Dilatasi kapiler juga dapat terjadi di tempat yang jauh dari tempat pembekaman. Ini menyebabkan terjadi perbaikan microcirculation saluran darah. Akibatnya timbul relaksasi otot-otot yang kaku serta akibat vasodilatasi umum akan menurunkan tekanan darah secara stabil (Fatahillah, 2006).
Pembekaman pada satu poin, di kulit (kutis), jaringan bawah kulit (sub kutis), fascia dan ototnya akan terjadi kerusakan dari sel mast/basofil dan lain-lain. Akibat kerusakan ini akan dilepaskan beberapa zat seperti serotonin, histamine, bradikinin, slow reacting substance (SRS), serta zat-zat lain yang belum diketahui. Zat-zat ini menyebabkan terjadinya dilatasi (pengembangan) kapiler dan arteriol serta flare reaction pada daerah yang di bekam. Dilatasi kapiler juga dapat terjadi di tempat yang jauh dari tempat pembekaman. Ini menyebabkan terjadi perbaikan microcirculation pembuluh darah. Akibatnya timbul kesan relaksasi otot-otot yang kaku serta akibat vasodilatasi umum akan menurun tekanan darah secara stabil maka terapi bekam ini dapat menyembuhkan hipertensi (Dunsmuir,2007).
D. Kendala-kendala
Sebagaimana di jelaskan di awal bahwa penelitian bekam di Indonesia masih sangat sedikit sehingga akan mempengaruhi tingkat akseptabilitas terapi ini di dunia kesehatan baik medis maupun paramedis. Belum lagi adanya anggapan bahwa terapi ini adalah milik orang-orang penyembuh tradisional atau pengobata alternatif/komplementer yang sangat jauh kualitasnya jika dibandingkan dengan perkembangan ilmu kesehatan.
Di samping minimnya penelitian di Indonesia, terapi ini terkesan hanya dilakukan pada mereka yang mempunyai keyakinan/agama tertentu, baik pelaku maupun pasiennya. Hal ini akan menghambat penyebaran terapi ini di tengah-tengah masyarakat.
E. Penutup
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kami menyimpulkan makalah ini sebagai berikut :
1. Penggunaan terapi farmakologi pada pasien hipertensi pada sisi lain dapat menurunkan tekanan darah seperti yang diharapkan, tetapi juga dapat menimbulkan efek samping dari ringan hingga cukup berat.
2. Terapi bekam menurunkan tekanan darah dengan cara mengeluarkan zat-zat alami di dalam tubuh yang mengakibatkan dilatasi pada pembuluh dara sehingga tekanan darah dapat menurun. Sejauh ini belum ada efek samping yang serius.
Saran-saran:
1. Hendaknya penggunaan obat-obat farmakologi dilakukan dengan hati-hati. Menerapkan pendekatan 7 M. Sehingga efek samping yang tidak diharapkan dapat dicegah atau ditangani dengan segera.
2. Menerapkan terapi bekam pada pasien-pasien hipertensi baik di klinik maupun di masyarakat untuk menjaga kondisi tekanan darah tetap normal.
3. Perlunya penyebaran informasi tentang bekam dan manfaat yang di peroleh baik di tengah-tengah masyarakat maupun tenaga kesehatan (perawat, dokter dll)
4. Perlunya penelitian-penelitian secara intensif untuk memperkuat manfaat bekam terhadap penurunan tekanan darah atau kesehatan
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A., Farhadi, K., Schwebel, D., Saeb, M., Choubsaz, M., Mohammadi, R. (2009). The effectiveness of wet-cupping for nonspecific low back pain in
Ahmadi, A., Schwebel, D.,Rezai, M. (2008) The Efficacy of Wet-Cupping in the treatment of tension and migraine headache. The American Journal of Chinese Medicine, Vol 36, No. 1, page 37-44
Ahmed S.M., Madbouly N.H., Maklad S.S., dan Abu Shady E.A. (2005) Immunomodulatory effects of blood letting cupping therapy in patients with rheumatoid arthritis.
Al-Jauziyah, I.Q. (2004) Metode Pengobatan Nabi cetakan I, Abu Umar Basyir Al Maidani (penerjemah). Jakarta : Griya Ilmu.
Astawan, Made. 2008. Cegah Hipertensi dengan Pola Makan. terdapat pada www.depkesRI.com.
Anonim. (2006) Bekam, Sembuhkan Hipertensi, Migrain, Sakit Pinggang Dan Kanker terdapat dalam
Bu, TW., Tian, XL., Wang, SJ., Liu, W., Li, XL., Tan YH.(2007) Comparison and analysis of therapeutic effects of different therapies on simple Obesity 1: Zhongguo Zhen Jiu. 2007 May;27(5):337-40.
Dunsmuir, Ian. ( 2007). Acupuncture in the Treatment of Sports Injuries: A Western Perspective Terdapat dalam www.heallingpoint.mht.
El Hennwy. (2007) Cupping therapy and Infertiliys, terdapat dalam http://www.activephysiotherapy.com
Fatahillah, A. (2007) Keampuhan bekam, Cetakan ke-III, Jakarta: Qultum Media.
Fatahillah. (2008). Rukyah dan Bekam.terdapat dalam www.Fatahillah.co.id.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:Media Askupularis FKUI.
Nashr, MM,(2005), Bekam, Cara Pengobatan Menurut Nabi, cetakan I, Jakarta : Pustaka Imam As Syafi’i.
Price S.A., Lorraine M. W. (2000). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Song, S. J. 2007. Observation on therapeutic effect of ear point blood-letting combined with cupping on Back-shu points for treatment of acne vulgaris. Zhongguo Zhen Jiu; 27(8):626-8.
Setiawati, A., Bustami,ZS. Bustasmi. (2004) Anti hipertensi dalam Farmakologi dan terapi. Edisi IV. Jakarta : FKUI
Song, SJ.(2007) Observation on therapeutic effect of ear point blood-letting combined with cupping on Back-shu points for treatment of acne vulgaris. Zhongguo Zhen Jiu 2007 Aug;27(8):626-8.
Subiyanto,
Sutomo, B. (2008).Bekam Atasi Migrain dan Hipertensi terdapat dalam www.pijatkeluarga.co.id (diakses tanggal 10 Juni 2008)
Ullah, K., Younis,A., Wali, M. (2007) An investigation into the effect of Cupping Therapy as a treatment for Anterior Knee Pain and its potential role in Health Promotion. The Internet Journal of Alternative Medicine. 4(1):626-8
Underwood, J.C.E.1999. Patologi Umum dan Sistemik.editor edisi bahasa Indonesia,Sarjadi/ed.2.vol 2.
Vitahelath (2004). Hipertensi. Jakarta : PT Gramedia.
Yasin,S.A. (2007), Bekam, Sunnah nabi dan mukjizat medis, Cetakan VIII, Jakarta: al-Qowam